Pemimpin Hebat Lahir dari Didikan Keras: Kisah Muhammad Al-Fatih dan Gurunya
Penulis : RAS Almeer
Kisah Emas Enam Abad Lalu

Sejarah mencatat, enam abad lalu, lahir seorang anak Sultan yang kelak menjadi pemimpin besar. Namun, perjalanan mendidiknya tidaklah mudah. Sebagai putra Sultan Murad II dari Kekhalifahan Utsmani, Muhammad kecil hidup dalam kemewahan. Ia tak pernah merasakan kesulitan hidup, apalagi kerasnya pendidikan. Guru-guru yang mengajarnya pun kerap dilecehkan, dicemooh dan ditertawakan. Namun, Sultan Murad II tak kehilangan akal. Ia memilih dua ulama terbaik sebagai guru putranya: Syeikh Ahmad bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsuddin.
Di tangan mereka, Muhammad tumbuh menjadi pemimpin tangguh. Kelak, ia dikenal sebagai Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Konstantinopel, ibu kota Byzantium, adalah kota paling strategis saat itu. Dikelilingi oleh: Selat Bosphorus, Laut Marmara, Selat Tanduk Emas, yang diperkuat rantai raksasa. Namun, pada 29 Mei 1453, sejarah berubah, benteng legendaris itu runtuh di tangan Muhammad Al-Fatih.
Benteng terkuat dalam sejarah dunia, yang selama lebih dari seribu tahun tak tergoyahkan, akhirnya takluk di tangannya. Pada usia 21 tahun, ia membuktikan sabda Nabi Muhammad ﷺ:
لَتُفْتَحَنَّ الْقُسْطَنْطِينِيَّةُ، فَلَنِعْمَ الْأَمِيرُ أَمِيرُهَا، وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذَلِكَ الْجَيْشُ
“Sesungguhnya Konstantinopel pasti akan dibuka. Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya”. (HR. Bukhari)
(Hadis ini sering dikaitkan dengan penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453. Namun, perlu dicatat bahwa hadis ini tidak ditemukan dalam Shahih Bukhari, tetapi diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis lainnya, seperti Musnad Ahmad (Hadis No. 18189), Mustadrak Al-Hakim, dan Sunan Al-Dailami)
Pukulan Guru yang Mengubah Segalanya
Sebagai anak Sultan, Muhammad kecil dikenal manja dan sulit diatur. Ia sering membangkang kepada guru-gurunya. Sultan Murad II pun memberikan pesan khusus kepada Syeikh Ahmad Al-Qurani: "Didiklah anakku dengan baik. Jika ia tidak patuh, kau berhak memukulnya." Pesan itu disampaikan langsung di depan Muhammad. Bahkan, Sultan menyerahkan cemeti kepada sang guru sebagai simbol kewenangan penuh.Hari pertama, Muhammad kecil mendapat pukulan pertamanya. Ia terkejut, tak pernah sebelumnya seorang guru berani melakukannya. Namun, ia tak bisa membantah.Sejak saat itu, sikapnya berubah drastis. Ia menjadi anak yang taat, hafal Al-Qur’an di usia 8 tahun, menguasai 7 bahasa asing, serta mendalami ilmu politik, ekonomi, dan strategi perang.
Hikmah di Balik Pukulan Guru
Pendidikan keras dari gurunya bukanlah bentuk kekerasan yang menyiksa, melainkan shock therapy dalammembangun karakter, disiplin, dan kepemimpinan. Namun, ada satu pukulan lain yang lebih membekas dalam ingatan Muhammad Al-Fatih. Kali ini, dari Syeikh Aaq Syamsuddin. Suatu hari, setelah menjadi Sultan, ia bertanya kepada gurunya: "Guru, ingatkah engkau pernah memukulku? Padahal saat itu aku tidak bersalah. Mengapa?" Sang guru tersenyum dan menjawab: "Aku menunggu hari ini, sekarang kau tahu, betapa pukulan tanpa alasan itu terus menghantuimu. Maka, jika engkau menjadi pemimpin, jangan pernah berlaku zalim. Karena kezaliman seorang pemimpin akan selalu dikenang oleh rakyatnya, bahkan hingga akhir hayatnya." Jawaban itu menjadi pelajaran seumur hidup bagi Sultan Muhammad Al-Fatih.

Era Modern: Guru Dibelenggu Aturan
Namun, di era modern, guru justru dibatasi aturan hukum. Mereka tak lagi boleh mendisiplinkan murid dengan ketegasan. UU Perlindungan Anak (No. 23 Tahun 2002) Pasal 80 menyatakan: "Setiap orang yang melakukan kekerasan terhadap anak dipidana penjara 3 tahun 6 bulan dan/atau denda Rp 72 juta."
Akibatnya, banyak siswa kini kurang menghormati guru. Bahkan, orang tua sering melaporkan guru ke polisi hanya karena mencukur rambut murid atau mendisiplinkan mereka. Padahal, pendidikan karakter membutuhkan sinergi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tanpa itu, sulit mencetak generasi emas yang mampu membangun peradaban.
Kesimpulan
- Kisah Sultan Muhammad Al-Fatih mengajarkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal akademik, tetapi juga pembentukan karakter.
- Seorang pemimpin besar lahir bukan dari kemanjaan, melainkan dari ketegasan, disiplin, dan pengajaran yang benar.
- Dan di balik setiap pemimpin hebat, selalu ada seorang guru yang berdedikasi.